Menu

Mode Gelap
How To Handle Every Movie Challenge With Ease Using These Tips 20 Questions You Should Always Ask About Playstation Before Buying It The Most Influential People in the Green House Industry and Their Celebrity Dopplegangers Technology Awards: 6 Reasons Why They Don’t Work & What You Can Do About It

Sejarah · 15 Des 2022 10:37 WIB ·

Hari Bela Negara (HBN)


 Hari Bela Negara (HBN) Perbesar

Oleh : Adpi Gunawan

Ranah – Sebentar lagi, tepatnya pada tanggal 19 Desember 2022, kita bangsa Indonesia akan merayakan sebuah hari besar nasional bernama HBN. Barangkali tak banyak di antara kita yang akrab dengan HBN ini. Alangkah eloknya kita sebut saja langsung kepanjangannya, yaitu Hari Bela Negara.

Belajar dari peringatan Hari Bela Negara sebelum-sebelumnya, rasanya pantas kalau kita sebut Hari Bela Negara ini kurang meriah peringatannya. Meskipun tidak jelas juga apa ukurannya untuk mengatakan kemeriahan sebuah peringatan hari besar nasional.

Tapi yang jelas, sejak diundangkan pada tahun 2006 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006 tentang Hari Bela Negara, ditandatangani oleh Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden saat itu, hingga saat ini peringatan dan kemeriahan Hari Bela Negara seolah-olah kalah populer dibandingkan dengan hari besar nasional lainnya, termasuk hari besar nasional yang baru disahkan setelahnya, yakni pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Mengutip Sejarawan Gusti Asnan, ada kesan Hari Bela Negara tidak diterima secara nasional (Arman, 2017), tak tahu pula apa penyebabnya. Namun secara histori, Hari Bela Negara merupakan satu-satunya hari besar nasional yang latar belakang geografisnya kebetulan berada di luar Pulau Jawa, tepatnya di Propinsi Sumatera Barat.

Jika kita urai mulai dari bulan Januari hingga Desember setiap tahunnya, tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional yang latar belakang geografisnya berada di Yogyakarta.

Kemudian 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional berlatar belakang geografis yaitu di Jakarta, disusul sesudahnya tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila juga berlatar Jakarta.

Selanjutnya 17 Agustus sebagai hari besar nasional yakni dikumandangkannya proklamasi juga berlatarbelakang lokasi di Jakarta, disusul dengan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila juga berlatar lokasi di Jakarta. 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda pun memiliki latar belakang sejarah di Ibukota Jakarta.

Hari Pahlawan pada 10 Nopember setiap tahunnya baru digeser dari Jakarta, yakni berlatar belakang geografis di Surabaya, termasuk yang berkaitan dengannya yakni hari besar nasional yang baru disahkan pemerintah baru beberapa tahun bernama Hari Santri Nasional diperingati pada setiap 22 Oktober yang terkenal melalui resolusi jihadnya.

Adalah kemauan sejarah yang menyebabkan Hari Bela Negara berlatarbelakang kejadian di Sumatera Barat, yang pada waktu itu bernama Propinsi Sumatera Tengah. Dan sejarah tak bisa diedit apalagi didelete begitu saja.

Hari Bela Negara diabadikan menjadi hari besar nasional berdasarkan peristiwa PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berlangsung dari tanggal 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949, singkat memang tapi melelahkan.

Sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian masyarakat kita, terutama generasi tua. Jika yang dibicarakan PDRI, tetapi yang muncul instan dalam memoarnya adalah PRRI (biasa diucapkan peri-peri). PRRI adalah singkatan dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, kebetulan dasarnya juga di Sumatera Tengah.

Agresi Militer II

Kembali ke PDRI, jika muncul pertanyaan, kenapa PDRI yang dipimpin oleh Bapak Syafruddin Prawiranegara berlangsung mulai dari 22 Desember 1948 setelah melaksanakan rapat di Halaban, Kabupaten 50 Kota, tetapi Hari Bela Negara malah ditetapkan pada 19 Desember setiap bulannya?

Maka kita harus menilik terlebih dahulu, bahwa pada tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Yogyakarta telah diserang oleh Belanda dan Dwi Tunggal kita Bung Karno-Bung Hatta sudah menyerahkan diri lalu diasingkan ke Bangka, sehingga secara de-jure pemerintah tak berfungsi.

Penyerangan oleh Belanda tersebut dikenal dengan Agresi Militer II. Mengingat suasana gentingnya pada Ahad pagi di tanggal 19 Desember 1948 itu maka Presiden Soekarno bersama Wakil Presiden M. Hatta mengeluarkan sebuah mandat, bukan sebuah malah dua buah mandat.

Meskipun sesungguhnya Dwi Tunggal telah mengeluarkan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat, namun mandat tersebut tidak pernah sampai ke tangan Mr. Syafruddin Prawiranegara menghasilkan kondisi geografis dan fasilitas komunikasi kala itu.

Walau mandat tak pernah sampai, namun pembentukan PDRI hasil musyawarah mufakat ini sesungguhnya sejalan dengan instruksi tertulis yang tertuang dalam Amanat Presiden/Wakil Presiden yang telah ditulis pada 19 Desember 1948 di Yogyakarta.

PDRI adalah pemerintahan bergerilya keluar masuk hutan dengan dukungan ribuan bahkan ratusan ribu masyarakat guna mengukuhkan keberadaan Indonesia dimata internasional. PDRI melakukan pemerintahan secara berpindah-pindah di berbagai daerah meliputi Bukittinggi, Padang, Halaban, Koto Tinggi (Kabupaten 50 Kota), Bidar Alam (Kabupaten Solok Selatan), Sungai Dareh (Kabupaten Dharmasraya) serta Sumpur Kudus dan Silantai (Kabupaten Sijunjung).

Tanpa mereka semua yang berjasa dan sama-sama berjibaku dengan pengorbanan penuh, pemerintah darurat ini tak akan berhasil menjalankan misi nasionalnya yang dramatis itu. PDRI benar-benar menyatu dengan rakyat, demikian tulisan Ahmad Syafii Maarif dalam “PDRI Menjawab Krisis Kepemimpinan Nasional” yang dimuat di Kompas pada 22 Desember 2021.

Menyatu dengan rakyat, itulah dahsyatnya PDRI yang tak bisa dipatahkan oleh musuh, mengutip tulisan Guru Bangsa Ahmad Syafii Maarif.

Tugu PDRI

Agar generasi setelahnya selalu ingat akan perjuangan PDRI, disetiap daerah yang manjadi basis perjuangan PDRI membangun monumen PDRI. Yang paling monumental adalah dibangunnya Monumen Bela Negara oleh pemerintah di Koto Tinggi, Kabupaten 50 Kota. “Kita berharap Monumen Bela Negara ini menjadi Taman Mini Indonesia Indah kedua” demikian disampaikan Gubernur Sumbar Mahyeldi pada 5 Maret 2021.
Para seniman dan budayawan bisa mengangkat sejarah, seperti perjuangan Bung Hatta dan adanya PDRI mempertahankan kemerdekaan Indonesia, demikian pula pembebasan kembali oleh Gubernur Sumbar Mahyeldi pada 27 Mei 2021 di Taman Budaya Sumbar tentang pentingnya PDRI.

“PDRI adalah tonggak mempertahankan NKRI saat agresi Belanda II. Hanya Meskipun selama 207 hari tetapi tanpa PDRI, belum tentu akan ada Indonesia seperti saat ini. Karena itu daerah basis perjuangan ini patut untuk diperhatikan oleh pemerintah” begitu disampaikan kembali Gubernur Sumbar Mahyeldi mengingat pentingnya PDRI ketika berkunjung ke Jorong Calau di Nagari Sumpur Kudus Selatan, Kecamatan Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung pada Jumat 29 Oktober 2021.

Di Kabupaten Sijunjung, dalam suatu kesempatan penulis pernah mengunjungi tempat pelaksanaannya Sidang Kabinet Lengkap PDRI di Nagari Silantai, Kecamatan Supur Kudus. Kediaman Wali Perang Silantai tersebut pada 14-17 Mei 1949 dijadikan lokasi bersidang PDRI, lagi-lagi atas dukungan rakyat, dan sekarang menjadi monumen bersejarah.

Segala jenis koleksi dan benda-benda bersejarah yang berkaitan dengan PDRI di Nagari Silantai terpelihara baik di “rumah bagonjong” yang dijadikan Situs Cagar Budaya ini, mulai dari tongkat hingga peninggalan kabinet sidang.

Di Nagari Sumpur Kudus juga dibangun pula Tugu PDRI yang berlokasi di pintu masuk menuju perkampungan dan berada di pinggir jalan utama, sehingga setiap orang yang melewati jalur ini selalu ingat akan PDRI. Tulisan “Monumen PDRI 1949” masih tertulis dengan jelas, meskipun angka “1949” agak samar-samar karena sudah terkelupas.

“Monumen PDRI 1949” di Nagari Sumpur Kudus berhadapan langsung dengan Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM), tempat menimba ilmu Ahmad Syafii Maarif kecil.

Kemudian di Calau, Nagari Sumpur Kudus Selatan, juga masih terpelihara dengan baik sebuah Rumah Gadang yang juga pernah menjadi tempat bermalamnya Pimpinan PDRI Bapak Syafruddin Prawiranegara, rumah ini sekarang dijadikan Museum Rumah Masa Kecil Buya Ahmad Syafii Maarif.
Dirumah inilah Buya Ahmad Syafii Maarif mulai kanak-kanak hingga memasuki sekolah MIM tinggal dan dibesarkan oleh Eteknya. Tak jauh dari rumah ini, kira-kira 15 meter di bagian depannya terdapat Radio Pengirim PDRI yang menjadi lokasi pengiriman informasi dan komunikasi antara PDRI dengan Dr. Soedarsono sebagai delegasi Indonesia yang berada di India sekaligus menjadi bukti bahwa nyawa republik masih ada.

Melalui radio pula, Bapak Syafruddin Prawiranegara selalu menjalin komunikasi dengan Jenderal Soedirman yang juga tengah memimpin gerilya di tanah Jawa meski dalam keadaan ditandu karena sakit.

Tour de PDRI

Tahun 2002, jika saya tak salah, diadakan sebuah agenda dengan nama Napak Tilas PDRI yang juga dilaksanakan di Sumpur Kudus hingga ke Silantai di Kabupaten Sijunjung.

Tak hanya tingkat kabupaten, Napak Tilas PDRI ini diikuti oleh ratusan orang dari delegasi se-Sumatera Barat guna menelusuri jejak PDRI di seluruh daerah yang pernah menjadi disinggahinya.

Berkat usaha, kerja keras dan perjuangan seluruh elemen masyarakat yang berada di kampung maupun rantau, terutama yang duduk di lingkaran pemerintahan, akhirnya PDRI telah diakui keberadaannya dengan ditetapkan sebagai Hari Bela Negara.

Meskipun semasa sekolah dulu, penulis tidak mengenal PDRI dalam mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), kini PDRI sebagai penyambung nyawa NKRI telah diperingati setiap tahunnya melalui upacara bendera.

Lalu, apakah sudah cukup jika hanya mengucapkannya dengan upacara bendera, atau napak tilas atau kegiatan lainnya. Pertanyaan ini tentu pulang kepada kita.

Pada hari Kamis tanggal 16 Desember 2021 diadakanlah Tour de PDRI, sebuah even bersepeda pada etape 4 dengan rute Muaro Sijunjung menuju Silantai, Sumpur Kudus.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Propinsi Sumbar Dr. Jefrinal Arifin didampingi perwakilan Forkopimda serta Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sijunjung Usman Gumanti melepas langsung kepergian 100 orang lebih peserta Tour de PDRI tersebut di depan Gedung Pancasila, Muaro Sijunjung.

Tahun ini diadakan pula Tour de PDRI melewati enam daerah di Sumbar. Hari Jumat besok tanggal 16 Desember 2022, kabarnya adalah hari ketiga dengan rute Muaro Sijunjung menuju Nagari Silantai, Kecamatan Sumpur Kudus via Geopark Silokek. Kabarnya, bahkan kali ini sangat berbeda, memadukan konsep olahraga, sejarah, wisata, pendidikan, budaya dan ekonomi. Semoga sukses.

*) Penulis adalah PP. Muda, Jurnalis Topsumbar.co.id serta Pemerhati Sosial.

Hits: 35

Artikel ini telah dibaca 25 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Tionghoa Padang dan Cap Go Meh

28 Februari 2023 - 16:40 WIB

Mengenal Pura Mangkunegaran Tempat Baralek Kaesang-Erina

11 Desember 2022 - 09:23 WIB

Petani Minangkabau Dalam Lintas Sejarah

5 Desember 2022 - 12:55 WIB

Raja Nusantara yang Berumur Panjang

9 November 2022 - 15:42 WIB

Kisah Batang Kuantan

7 November 2022 - 17:48 WIB

Petani Inggris Abad Pertengahan

26 Oktober 2022 - 13:16 WIB

Trending di Sejarah